Senin, 07 Maret 2011

Tugas Terstruktur: Relevansi Isi Dongeng dengan Kehidupan Sekarang

Sifat Tugas: Wajib
Pelaksana Tugas: Siswa SMP Waringin kelas VII Tahun Pembelajaran 2010/2011
Waktu Pengumpulan: 15 s.d. 22 Maret 2011 (Kelas 7A, 7B, dan 7E), 11 s.d. 17 April 2011 (Kelas 7C dan 7D)

Butir Tugas:
1. Bacalah dongeng yang disediakan di bawah ini!
2. Jawablah pertanyaan-pertanyaan yang disediakan di Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas VII SMP Waringin berdasarkan dongeng tersebut! (jawaban berbentuk karangan bebas: contoh ada di modul hlm. 66-67)

Cerita Dongeng:

Budak Buncir Situ Sanghiang
oleh: Idham Hamdani

Situ Sanghiang adalah nama sebuah danau di Desa Cibalanarik dan Desa Cilolohan, Kecamatan Tanjungjaya, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Dulunya danau ini adalah sebuah lembah yang merupakan sebuah pusat kerajaan. Kerajaan tersebut bernama erajaan Sanghiang. Kerajaan ini sebenarnya cukup kaya, namun sayang raja yang memerintah kurang peduli kepada rakyatnya. Dia lebih senang mengadakan pesta-pesta dengan para bangsawan daripada memperhatikan kehidupan rakyatnya.
Suatu hari Raja Sanghiang kembali mengadakan pesta bersama para bangsawan. Karena pesta hanya diperuntukan bagi bangsawan dan pejabat maka tidak sembarang orang bisa masuk. Bahkan seorang pengawal pun hanya diperbolehkan masuk satu langkah jaraknya dari gerbang tempat pesta.
Ketika pesta berlangsung tiba-tiba datang seorang anak kurus dengan perut buncit mendekati tempat pesta itu. Anak gundul yang hanya bercelana cawat ini berbicara kepada pengawal di luar gerbang.
"Mang, minta makanan! Saya lapar, Mang!" kata anak itu sambil menyusut ingus dengan tangannya.
"Di sini tidak ada makanan. Pergi sana!" jawab pengawal kasar.
"Tapi itu saya lihat banyak makanan di dalam. Orang-orang pada makan," tukas si anak.
"Itu makanan untuk para bangsawan. Makanya kamu cepat pergi! Kamu kotor dan bau, bisa-bisa mengurangi selera makan mereka."
Si anak yang sering dipanggil Budak Buncir itu ngeloyor pergi. Tetapi dia tidak pergi ke tempat lain melainkan menyelinap ke tenda masak.
"Nek, saya lapar. Bolehkah saya minta makan?" tanya Budak Buncir kepada seorang nenek yang sedang memasak.
Nenek itu kebingungan. Dia tahu makanan yang ada di situ hanya untuk bangsawan. Pelanggaran berat kalau memberikan makanan kepada sembarang orang. Tetapi melihat Budak Buncir ia terkenang cucunya yang telah tiada. Ia tidak kuasa melihat anak kecil itu kelaparan. Si nenek pun akhirnya memberikan sedikit makanan kepada Budak buncir.
Sayang, Budak Buncir hanya sempat memegang makanan itu dan tidak sempat menikmati secuwil pun. Tiba-tiba, brak! Seorang pengawal menggebrak meja di dapur. Dia memaki si nenek yang telah memberikan makanan kepada Budak Buncir. Nenek itu gemetar ketakutan karena sudah membayangkan hukuman apa yang akan ia dapatkan. Puas memaki si nenek pengawal itu hendak menangkap Budak Buncir. Tetapi ternyata Budak Buncir sudah hilang entah kemana.
Tidak lama kemudian terjadi kegegeran di tengah-tengah pesta di taman. Para wanita bangsawan menjerit jijik dan para prianya berteriak marah. Seorang anak buncit-kurus-gundul-kotor tiba-tiba berdiri tidak jauh dari raja sambil bermain-main dengan sebatang lidi. Melihat ini Raja Sanghiang sangat marah.
"Mengapa anak kotor ini bisa masuk ke sini? Usir dia dari sini! Pergi kau anak kotor!" teriak raja dengan marahnya.
"Hai, Raja yang sombong, kau tidak usah mengusirku! Aku akan pergi dari tempat ini dengan satu syarat," kata Budak Buncir sambil menancapkan lidinya di tanah.
"Kalau ada yang sanggup mencabut lidi ini, aku akan pergi tanpa diminta," teriaknya lagi.
Seorang panglima yang hadir di situ maju dengan wajah merah padam. Dia merasa marah karena merasa dipermainkan anak kecil itu. Dengan kasar dia bermaksud mencabut lidi yang menancap dan akan memukulkannya pada si anak. Tetapi ternyata yang terjadi di luar dugaannya. Lidi itu sama sekali tidak bisa dicabut. Bahkan ketika mencoba mencabut dengan kedua tangan, malah kelihatannya lidi semakin dalam tertancap ke tanah.
Para bangsawan terheran-heran. Beberapa diantaranya mulai maju ingin mencoba. Satu orang membantu menarik, lidi semakin dalam. Dua orang, semakin dalam lagi. Tiga orang, lalu sampai enam orang yang menarik, lidi semakin dalam. Bahkan kemudian keenam orang itu berteriak-teriak panik karena mereka tidak dapat melepaskan pegangan tangannya pada lidi. Sementara lidi semakin dalam masuk ke dalam tanah. Di sekeliling lidi tanahnya mulai basah oleh rembesan air yang muncul. Semakin lama-semakin meluas. Orang-orang-orang yang memegang lidi sambil berteriak-teriak ketakutan mulai ikut amblas ke dalam tanah yang sudah basah itu.
Suasana semakin mengerikan orang-orang panik dan bingung. Mereka tidak tahu harus berbuat apa ketika perlahan-lahan keenam orang itu tenggelam ke dalam tanah. Kemudian dari bekas tenggelamnya keenam orang itu mancur air yang sangat deras. Semakin banyak dan semakin banyak hingga akhirnya menjadi air bah.
Orang-orang yang panik dan kalut simpang siur menyelamatkan diri. Karena paniknya mereka malah banyak yang celaka: terjatuh, terinjak-injak, dan sebagainya. Akhirnya semua tenggelam dalam terjangan air bah. Hanya raja yang masih berpikir jernih. Dia berlari ke tempat-tempat yang lebih tinggi. Tetapi air bah seperti bermata dia terus memburu raja ke bukit mana pun dia berlari.
Air terus bergejolak, sementara raja terus mengerahkan kesaktiannya berlari dari satu bukit ke bukit yang lain. Akhirnya dengan kesaktiannya raja berhasil selamat dari terjangan air. Sayang, dia tidak selamat dari terjangan kelelahan yang sangat. Di bukit terakhir raja terkapar tak bernyawa karena kelelahan.
Ketika air perlahan-lahan tenang, tampaklah di tengah-tengah air itu sebuah lesung terapung. Di atasnya duduk nenek yang siang itu memberikan makan pada Budak Buncir. Dengan alu dia mendayung lesung itu menjadi perahu. Akhirnya dia sampai di bukit tempat raja mati. Si nenek akhirnya menguburkan rajanya di situ. Kemudian melangsungkan sisa hidupnya di bukit itu.
Air yang menenggelamkan kerajaan itu pun kemudian dikenal sebagai Situ sanghiang. Bentuk danau itu unik karena berliku-liku, kalau dilihat dari atas bentuknya seperti kuda yang sedang berlari. Konon katanya itu karena air bergerak mengejar-ngejar raja. Di salah satu titik di danau itu terdapat dangkalan berupa lumpur. Lumpur yang disebut embel itu ternyata sangat dalam. Bahkan satu pohon bambu pun tenggelam di lumpur tersebut. Konon lagi, itu adalah sumber air tempat enam orang penarik lidi tenggelam. Keenam orang itu berubah menjadi ikan-ikan besar berwarna-warni yang menjaga danau. Konon lagi-lagi, iringan ikan ini suka terlihat oleh orang yang sempat tenggelam. Di salah satu bukit di pinggir danau terdapat sebuah kuburan yang dipercayai sebagai kuburan raja.***


Tidak ada komentar: