Jumat, 27 Februari 2009

Sajak-sajak

Kerinduan Membingkai Mimpi

Kadang suara bening anak tersayang
Dan sahut lembut menghanyut ibunya
Mencipta segaris goresan tipis
Kekasih sepiku cacat dikoyak
Meninggalkan guratan di keping semedi
Kesyahduan mimpi terusik
Dan lagu kebangsaan sunyi gagal terlantunkan

Sebagai pengidap mimpi penyair
Aku pun tergelung nafsu keruh lamunan
Mabuk menghantam-hantam waktu yang susut
Menggenggam mimpi dan kenyataan dalam satu kepalan
Adalah keajaiban yang dipaksakan
Lalu merekah mekar sebagai gulma ganjil
Tumbuh menjadi kenyataan yang datar dan endapan mimpi

Senyum mentari pagi di wajah belahan darah
Tak sanggup kubawa ke alam renung
Tak mampu kuinapkan di ruang kontemplasi
Sajak-sajak terserak di kamar-kamar tampak
Pilihan kata tercerai dalam kelaziman hari-hari
Meski rima dan ritma menyelinap di setiap detak
: keindahan lukisan tanpa bingkai adalah samar-samar

Aku yang berikrar dunia tuhan lebih luas dari yang terlihat
Dikutuk rindu melawat ke sisi seberang
Doaku terjebak dalam keseharian

Samoja, 20 Desember 2007


Mencuri Sunyi

Hai kubah masjid yang samar di kejauhan
Hai orang yang berimpit di emper toko sempit
Aku kembali di muka jendela sekian lama
Ada dendam membara dalam keseharian kerja
Biar kubalas tuntas sekarang juga

Kutatap kembali sahabat lamaku
: kekosongan yang sunyi
Kekosongan yang dalam tercipta dari hujan
Malaikat yang turun untuk mendalamkan sujudku
Membanting dadaku dalam ketakberdayaan senyatanya

Hujan kali ini memang tak sesyahdu lagu kasmaran
Hujamannya tajam ditimpal kilat dan dentam meriam langit
Tapi semua adalah gambar rindu yang bertimbun-timbun
Jatuhan yang mengahantam atap-atap dan orang berjalan tanpa ampun
Seperti ketukan di pintu untuk membuka lebar cakrawala dada
Dan kesuraman angkasa mewujud air mata cinta
Yang sebak di pelupuk kalbu

Kemudian kurasa kembali sensasi purba
Rasa tak berdaya menyusun bunga-bunga
Sementara di dadaku mendadak muncul taman-taman
Kesyahduan menjadi rumput-rumputan
Dan kedamaian menjelma matahari yang selalu pagi

Irsyad, 19 Desember 2007


Jam Tangan

Insan berjam tangan diamuk puting beliung, limbung
Insan tak berjam tangan diamuk puting beliung, juga limbung
Jam tangan mengukur putaran waktu
Puting beliung memutar pusaran tanpa ukuran waktu

Jam tangan ini tak perlu ditanya
Darimana asal dan asli tidaknya
Tanyakanlah jam berapa sekarang
Biarkan ia menjawab dengan kepastian

Jam tangan di pusaran puting beliung
Tak hanya pengingat masa
Juga penyeru kepala-kepala linglung
Hati-hati yang limbung
Tanyakanlah jam berapa sekarang
Minta ia menjawab dengan dentang kesadaran
Pastikan pergeseran matahari ke arah sewajarnya
Lalu pasak bumi yang guncang dengan sujud yang kencang

Jammu ada di tangan
Baca seksama dengan lensa jiwa
Temukan detak-detaknya sedawam dzikir doa-doa

Samoja, 2 Januari 2008


Menemui Masa Silam

Melayang
Terlentang di tengah padang
Hidung tertaut bau rumput
Dan angin berhembus seperti selimut
Kehangatan masa silam tak tergantikan

Bangkit dari kedalaman kenang
Ribuan kilometer di bawah sadar
Jutaan copy kerinduan terekam di daun-daun
Dan angin mengusiknya selembut jemari ibu
Sepanggung orkestra menyanyikan lagu cinta dari seberang zaman

Wah, langkah ini berlaksa jauhnya
Menyusuri kenangan menjadi perjalanan panjang
Petualangan mengasyikan
Berbuah rasa nyaman
Obat bagi pikiran penat

Lantas seluas apa kesempatan
Baik kuhirup ini dalam-dalam
Kuhisap seperti candu rawan

Samoja, 9-1-08


Lagu Lama

Kuingin sekali lagi kau di sini
Tidak untuk bicara
Hanya diam
Saling memendam kata

Seperti kisah silam yang tak terselesaikan
Tak hadirmu menjelma kerinduan panjang
Kata-kata kuncinya kutitipkan pada awan
Hingga terlupakan

Saat-saat kegelisahan memaku sepi
Ada kalanya kuperlukan lagi mata sunyimu
Kukuh menyekap kegalauan yang gagal terucapkan
Seperti janji setia perempuanmu pada bumi
Yang hanya memperkenankan langit menuntaskan segalanya

Apabila wajahmu selalu terkunci di jendela senyap
Maka kupikir layak galau menyelinap
Sebuah lagu menunggu ujungnya
Kuncinya tak pernah lagi kutemukan

Samoja, 11-1-08


Matahari Terbit Bumi Tenggelam

Senja telah basah
Hari separuhnya berubah menjelma hujan
Suara-suara angkasa muram: petir guntur halilintar
Menyentuh muka daratan dan membawa pesan tentang kegelisahan

Kegelisahan bukan hanya milik para pejuang alam
Kegusaran bukanlah lagi hanya permainan para pembaca gejala cuaca
Kepanikan tidak hanya menikam hati semua insan
Alam sendiri merintih gemetaran

Air mata ngucur dari seluruh penjuru
Dari tangisan langit, sedu laut, muntahan tanah
Gunung terbatuk, bukit meringis, dan sungai-sungai lelah kewalahan
Udara meranggas mencairkan sisi bumi paling beku
Semua tenggelam dalam basah yang gerah

Di bawah sumpah dan titah untuk adam manusia merasa jaya
Kuasa, semena-mena
Kini ketika alam mengejang, meregang
Mereka mulai bicara tentang cinta, dosa-dosa, dan alasan muslihat
sebagai mahluk tanpa daya
Doa-doa dibaca panjang-panjang dan memelas
O, gembala yang nista menangis, mengais, mengiba
setelah membantai ternak majikan

Samoja Dalam, 24 Maret 2008


In memoriam Sampah

Langit cerah seperti dalam kisah-kisah lama
Aroma cuaca tetap seperti dulu, hanya sedikit lebih bau
Seseorang manjat atap truk sampah sarat
Berteriak menegangkan urat-urat
Kita bebaskan kota kita dari sampah!
Sampah adalah sampah!
Sampah bertumpuk merebut kenyamanan!
Kita pengap kita sesak, kita terdesak, penyakit marak!

Kau bicara pada siapa?
Siapa kita?
Lo aja kali gue nggak!

Aku juga kaubilang sampah kata penjaja cinta
Aku lebih sampah ucap gelandangan
Kami di sini hampir menyampahkan diri bisik musisi jalan lirih
Siapa yang seharusnya mengurus ini sampah tanya pembayar pajak dan iuran sampah
Manusia adalah mahluk penyampah simpul si sibuk dari penelitian ke penelitian

Kami adalah tuan rumah sah kota ini! pekik sampah-sampah

Berpekan berbulan kemudian
Gundukan sampah diseruduk dihancurkan
Dibuang ke lubang omel-omelan
ke tempat warga belingsatan umpat-umpatan
tidak berkenan dan akhirnya terlupakan

Gundukan-gundukan sudah disirnakan
Bau telah dilumpuhkan
Sampah hanya terserak
Semakin banyak sampai ujung batas kesadaran
Semakin luas membentangi ketakpedulian

Sampah juga warga di sini
(Warga di sini juga sampah?)


Bandung (masih kota sampah), 24 Maret 2008



Kebenaran yang Tak Lagi Diharapkan

Dunia bertemaram senja
Segala nama kebajikan bermuram duka
Ini masa nyaman untuk para durjana
Langit berbisa dan udara bertuba

Suara adzan sayup di ujung kabut
Ujaran bijak lenyap tersaput gelombang kalut
Pikiran hasan berbuah hinaan
Halilintar menghantam para imam, mereka pun ditinggalkan

Fatwa-fatwa bermekaran, semerbak nuansa kekhawatiran
Ada yang harus dibela dan diperjuangkan
Tapi roda-roda berjalan tak memperdulikan
Mereka telah memantapkan jalannya sendirian
Dan peringatan-peringatan mereka kirim ke folder hambatan-rintangan

Jadi menguaplah masa-masa kearifan
Gelombang kelam telah muncul di hadapan
Telinga mereka kena duluan
Lihat, pintu-pintu hati cepat dikatupkan
Begitu terdengar lantunan adzan dan kearifan

Mereka sangsi di perbatasan
Mereka mati di permukaan
Malam menjelang, vampir-vampir datang
Menyerap habis tetes-tetes kepercayaan


Bandung, 6 Februari 2009


Mimpi di Tengah Gencatan Senjata

Fajar, tadi malam kesunyian menitipkan derik jangkrik ke dalam mimpiku
Instrumentalia yang nyaman
Rancag namun tenang, berisik namun hening sarat renung

Ah, mimpiku disayang sunyi
Sunyiku kubawa lagi, hingga terjaga matahari
Andai jelas izinnya kuputar kembali instrumentalia derik
Over sound track cahaya langit menetaskan hari

Kini matamu kemerahan, itu bukan yang kukhayalkan
Merah darah telah memerahkan mimpiku berwaktu-waktu
Back sound musikalnya dentuman-dentuman dan rentetan teror
Tangisan megaoktav menyayat-nyayat bagai biola beracun merasuk paru

Ayolah matahari, bergegaslah
Pendarkan warnamu, tuntaskan tugasmu
Lalu katupkan kembali kelopakmu lekas-lekas
Aku masih memilin derik jangkrik seperti tasbih
Biarkan mimpiku tenang setenang bayi
Mendengarkan instrumentalia gaib di tengah hiruk pikuk tempur
Yang mengantar lebih tenang, tenang yang abadi


Menyimak Gaza, Februari 2009