Jumat, 20 Maret 2009

Disapa Anda Malah Tersinggung
Oleh: Idham Hamdani*

Suatu ketika di sebuah sekolah, seorang kepala sekolah dipusingkan oleh sebuah masalah. Satu orang tua siswa mengadu kepadanya. Dia mengadukan wali kelas anaknya. Dia merasa tersinggung oleh ucapan wali kelas tersebut.
Kemudian kepala sekolah memanggil wali kelas tersebut yang kebetulan adalah guru bahasa Indonesia. Kepala sekolah merasa heran mengapa seorang guru bahasa Indonesia tidak terampil menggunakan bahasa yang baik sehingga membuat lawan bicara tersinggung. Dia berniat mempertemukan wali kelas dan orang tua siswa tersebut.
Setelah dipertemukan, ternyata yang menjadi masalah bukanlah pada isi pembicaraan yang disampaikan wali kelas, melainkan kata anda yang digunakan wali kelas dalam berbicara. Menurut orang tua siswa tersebut, dengan kata anda wali kelas sengaja menjaga jarak dengannya sehingga dia merasa menjadi orang asing dan tidak nyaman. Dia juga menganggap wali kelas tersebut sombong dan memandang rendah dirinya. Sementara sang wali kelas yang guru bahasa Indonesia terheran-heran. Menurut kamus dan pengetahuan santun berbahasanya kata anda adalah kata ganti orang kedua yang digunakan untuk menghormati lawan bicara.
Setelah permasalahan antarpersonal diselesaikan, dilakukanlah penelitian kecil dengan menanyakan tanggapan para orang tua siswa. Ternyata hal tersebut di atas dirasakan oleh mayoritas orang tua siswa yang mendapat kata anda dalam sapaan. Maka segeralah kepala sekolah mengimbau para wali kelas untuk tidak menggunakan kata anda ketika berbicara dengan orang tua siswa. Para wali kelas disarankan menggunakan kata sapaan bapak atau ibu saja.
Peristiwa di atas hanyalah satu dari sekian peristiwa yang muncul dengan permasalahan yang sama. Di masyarakat penutur bahasa Indonesia ternyata kata anda telah mengalami pergeseran makna. Selama ini diketahui bahwa kata anda menimbulkan konotasi positif sopan dan resmi. Konotasi ini berbeda dengan konotasi yang ditimbulkan kata kamu atau engkau.
Kodifikasi memang penting untuk keberlangsungan kehidupan suatu bahasa. Tetapi dalam penggunaannya bahasa tetap milik masyarakat penutur. Ketentuan tinggallah ketentuan, masyarakat penuturlah yang menentukan pemakaiannya. Walaupun dalam ketentuan suatu kata memiliki konotasi positif, apabila masyarakat merasakan lain maka konotasi versi masyarakatlah yang terus hidup.
Hal di atas merupakan bukti baru kehidupan bahasa Indonesia. Bahasa yang hidup akan terus bergerak mengikuti perkembangan budaya penuturnya. Apabila ternyata memang kata sapaan lebih pantas dan nikmat bagi pengguna, mengapa tidak. Merunut dari asal usulnya pun kata sapaan merupakan kata yang digunakan untuk memunculkan keakraban di antara pemakai bahasa. Dengan adanya sapaan lawan bicara akan merasa lebih diakui oleh pembicara.
Kata sapaan seperti bapak, ibu, dan sapaan kekerabatan lainnya menimbulkan kesan hormat atau hangat. Sementara kata sapaan yang menyangkut profesi atau kedudukan juga mendatangkan hal positif bagi orang yang diajak bicara. Kata sapaan, dokter, suster, profesor, dan sebagainya akan menimbulkan kesan pengakuan pembicara terhadap posisi lawan bicaranya.
Mencermati fenomena baru ini tentu saja ada kesimpulan yang dapat ditarik. Pertama, tidak selamanya sesuatu yang dirumuskan oleh ahli bahasa dapat sesuai dengan selera penutur bahasa. Kedua, bahasa tidak berhenti pada satu titik tetapi terus bergerak sehingga para pembina bahasa harus terus mencermati dan terus melakukan penyesuaian-penyesuaian. ­Ketiga, semua orang yang faham kebahasaan dan tata aturannya tetap harus mencermati perkembangan budaya di sekelilingnya. Dalam pelaksanaannya penggunaan bahasa yang benar tidak selalu merupakan bahasa yang baik.